Monday, 23 August 2010
AYAH YANG KESEPIAN
Lukas 15:11-32 ‘Perumpamaan tentang anak yang hilang.’
Ayat 31: Kata ayahnya kepadanya: Anakku, engkau selalu bersama-sama dengan aku, dan segala kepunyaanku adalah kepunyaanmu.
Kisah anak yang hilang mungkin sudah sering kita dengar. Bahkan sering menjadi perumpamaan yang ditujukan untuk meledek seseorang yang lama tidak berkumpul atau berjumpa dalam suatu kelompok. Kisah anak yang hilang juga dikaitkan dengan kisah anak yang memboroskan hartanya (English: prodigal son). Hampir semua renungan merujuk anak yang hilang sebagai perumpamaan yang cocok untuk menunjukkan kasih Bapa dalam menerima kembali orang yang jatuh kembali dalam dosa.
Tuhan Yesus selalu menggunakan perumpamaan untuk menjelaskan maksudnya. Tentu saja, perumpamaan yang sesuai dengan situasi dan budaya pendengarnya. Ini patut kita contohi dalam pekerjaan, pelayanan atau di bidang apapun. Kita harus memastikan, jika kita hendak menyampaikan suatu maksud, harus ada yang melatar belakangi maksud tersebut dan juga cara penyampaian yang sesederhana mungkin agar dipahami orang lain.
Perumpamaan anak yang hilang ini tidak berdiri begitu saja. Sebelumnya ada perumpamaan-perumpamaan yang lain dan sesudahnya juga. Tentunya, setiap perumpamaan dimaksudkan untuk menguatkan dan menambah penjelasan atas masalah yang melatar belakanginya. Dan yang melatar belakangi perumpamaan anak yang hilang ini terdapat pada ayat 1 dan 2 dalam pasal 15 ini. Sebagai berikut:
Para pemungut cukai dan orang-orang berdosa biasanya datang kepada Yesus untuk mendengarkan dia. Maka bersungut-sungutlah orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat, katanya: “Ia menerima orang-orang berdosa dan makan bersama-sama mereka.”
Jadi ada kelompok orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat (yaitu tokoh alim ulama) yang merasa dirinya bukan orang berdosa. Juga ada kelompok pemungut cukai dan orang-orang berdosa, keduanya disamakan sebagai orang-orang berdosa. Tentu saja ini menurut pandangan budaya dan agama yang ada di masyarakat saat itu. Pemungut cukai bekerja untuk pemerintah penjajah yaitu Romawi, sehingga mereka digolongkan orang berdosa atau penghianat. Bukankah ini terjadi sampai sekarang? Bahwa kelompok tertentu merasa diri lebih benar dari yang lainnya? Padahal tidak satupun mereka yang tidak termasuk orang-orang berdosa. Semuanya manusia berdosa.
Dalam perumpamaan anak yang hilang ini dapat di bagi dalam 3 tokoh. Yaitu sang ayah, si anak sulung dan si anak bungsu.
Si bungsu datang kepada ayahnya meminta bagian warisannya. Sungguh sangat mengerikan bukan? Sementara ayahnya masih sehat hidup bugar, tetapi anak bungsunya ini sudah meminta warisan kepada ayahnya. Seakan-akan di mata anak ini, ayahnya sudah mati. Betapa tersayat hati ayahnya. Namun demikian, dibagikanlah seluruh miliknya sebagai warisan kepada kedua anaknya. Bayangkan respon pendengar saat itu, yang memiliki tradisi budaya yang kuat seperti Israel. Tentunya ada yang marah, emosi, kecewa, dan sedih dengan pendahuluan perumpamaan Tuhan Yesus ini.
Tetapi tidak berhenti begitu saja, kisah ini semakin menyentuh emosi pendengar ketika si bungsu itu kemudian melakukan tidakan yang lebih tidak manusiawi dan tidak hormat lagi. Si bungsu menjual seluruh harta bagiannya dan pergi ke negeri yang jauh. Bukan saja dia menolak ayahnya, namun seluruh tradisi dan bangsanya. Karena pada masa itu, warisan berupa tanah dan properti adalah nilai yang berharga. Yang tidak boleh berpindah milik ke suku dan atau bangsa lain. Karena mendapat bagian dalam tanah perjanjian itu melalui perjuangan yang berat. Lagipula, tanah perjanjian adalah janji Allah bagi umat Israel saat itu dan warisan turun temurun bagi umat Israel.
Bukan itu saja, bagai sinetron yang mencapai puncaknya, si bungsu pergi berfoya-foya dengan hartanya itu. Bahkan melakukan semua kesenangan dan dosa apapun yang bisa dan dia inginkan. Tentunya jika ini di’sinetron’kan, banyak penonton yang akan geram dan marah. Apalagi diselingi cuplikan ayah terkasih yang terpuruk dalam kesedihan atas kelakuan anaknya ini atau bahkan sakit-sakitan. Karena tentu si ayah mengetahui semua kelakuan anaknya ini, karena beritanya sampai kepada ayahnya. Terbukti pada bagian terakhir, anak sulung mengkonfirmasikan bahwa si bungsu itu telah berfoya-foya dengan pelacur-pelacur.
Tetapi kemudian habislah uang anak bungsu ini, dan diperparah dengan bencana kelaparan yang melanda negeri dimana dia berada. Kemudian anak bungsu ini melarat. Karena tidak memiliki apapun, tentu tidak ada yang berteman dengannya. Kenapa? Karena selama ini, semua orang yang berteman dengannya hanya karena anak ini memiliki uang yang banyak. Bagaimanakah dengan saudara? Apakah teman-teman anda mau berteman karena uang saudara banyak? Hati-hatilah!
Tentu pendengar (penonton jika di’sinetron’kan) mulai berpikir: “Nah inilah upahmu. Sudah sepantasnyalah anak ini mendapatkan karma sedemikian hebat.”. Bukan hanya melarat, anak ini terpaksa bekerja menjadi penjaga ternak babi. Kenapa bukan menjaga domba, melainkan menjaga babi? Babi adalah hewan haram bagi orang Israel, tetapi tidak bagi orang bukan Israel. Jadi makin jelaslah bahwa anak ini meninggalkan kotanya untuk tinggal di kota yang bukan milik bangsanya sendiri.
Kemudian si bungsu menyesali dirinya dan berpikir untuk kembali dan minta ampun pada ayahnya. Dia tidak punya harta lagi, tentunya dia hanya berharap agar bisa menjadi orang upahan atau pekerja di ladang ayahnya. Paling tidak, tidak perlu menjaga ternak babi dan tidak perlu mati kelaparan karena sekalipun hanya makanan ternak babi untuk mengisi perutnya, namun tidak ada yang mau diberikan kepadanya.
Kemudian anak itu kembali ke rumah ayahnya. dan tentunya sangat mengejutkan bagi pendengar ketika Tuhan Yesus menceritakan bagaimana sang ayah menyambut anaknya bergitu sukacita dan membuat pesta besar bagi anak yang hilang itu. Inipun sangat bertentangan dengan budaya saat itu. Tentunya, bagi seorang anak yang murtad maka seharusnya anak itu tidak dapat kembali seperti semula, tetapi harus bekerja seperti orang upahan biasa. Itulah tradisi yang berlaku.
Seringkali renungan ini berakhir pada bagian ini, yaitu ketika sang ayah menerima kembali anak yang hilang ini. Ada juga yang mengakhiri sampai kepada kemarahan dan kekecewaan anak sulung karena pesta tersebut. Tapi coba kita lanjutkan lagi. Apakah alasan kemarahan dan kekecewaan anak sulung itu?
Kalau dipikir-pikir, anak sulung ini adalah anak yang ideal bagi ayahnya. Saya yakin semua pendengar (atau penonton) akan setuju. Karena anak sulung ini bertahun-tahun bekerja untuk ayahnya, bahkan melakukan semua perintah ayahnya. Sempurna! Kecuali saat ini, saat dia marah dan tidak mau masuk ke dalam pesta sebagai bentuk protesnya.
Anak sulung dengan jelas menyatakan ketidak-sukaannya karena ayahnya berbelas kasihan pada si bungsu yang telah mempermalukan dan menghabiskan hartanya. Tapi ada juga yang berpendapat, bahwa mungkin si anak sulung marah karena bagian hartanya dipakai ayahnya untuk membuat pesta itu. Tapi ternyata bukan ini alasan kemarahannya. Ada sesuatu yang salah dalam diri anak sulung ini.
Seperti yang kita ketahui sebelumnya, bahwa seluruh harta ayahnya telah dibagikan kepada kedua anaknya ini. Jadi sudah pasti harta yang saat ini ada adalah milik anak sulung bukan? Tetapi anak sulung ini justru bekerja keras seperti seorang upahan kepada ayahnya. Tujuannya adalah mendapatkan penghargaan dari ayahnya. Sayang sekali, dia tidak menyadari bahwa dia sedang bekerja untuk miliknya sendiri. Dia tidak sedang memberikan apa-apa kepada ayahnya. Ayahnya tidak memiliki apa-apa lagi. Apa yang menjadi milik ayahnya, itu juga miliknya.
Bagaimana menurut saudara? Sungguh menyedihkan ayah ini. Betapa sepi hidupnya. Semua anaknya menganggap sepi dirinya. Si bungsu meninggalkannya dengan memboroskan semua bagian hartanya. Sedangkan si sulung sibuk bekerja di ladang. Berusaha mendapatkan prestasi pelayanannya. padahal dia satu-satunya anak yang tersisa ketika si bungsu pergi. Seharusnya dia tidak perlu membuktikan apapun lagi pada ayahnya. seharusnya dia memberi banyak waktu untuk ayahnya, bahkan seharusnya dia yang membuat pesta untuk ayahnya untuk menghibur ayahnya, bukan sebaliknya. Seharusnya si sulung rela mencari penghiburan bagi ayahnya yaitu dengan mengejar atau mencari adiknya. Padahal si sulung tahu apa yang dilakukan, apa yang terjadi dan dimana si bungsu berada.
Bukankah kisah ini mewakili kita? Orang-orang berdosa yang dimaksud orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat itu menggambarkan anak bungsu, sedangkan mereka sendirilah anak sulung itu. Pemungut cukai dan orang-orang berdosa itu juga anak-anak keturunan Abraham, yang juga bangsa Israel, umat kepunyaan Allah. Namun mereka seperti si bungsu. Tetapi para tokoh agama dan orang-orang saleh (farisi) dari kaum bangsa Israel juga tidak berbeda dengan pemungut cukai dan orang-orang berdosa. Keduanya, baik si bungsu dan si sulung menganggap sepi ayahnya. Betapa sedihnya ayah ini.
Memang benar banyak jiwa-jiwa yang masih terhilang. Sehingga sering kali kita memandang orang lain seperti memandang anak bungsu itu. Tetapi tidak menyadari juga bahwa kitapun bersikap seperti anak sulung itu. Kita sibuk dengan meningkatkan kadar iman dan moral kita. Berusaha hidup lebih suci dari orang lain. Kita berusaha mendapatkan kelayakan di hadapan Tuhan padahal kita sudah diselamatkan melalui iman kepada-Nya. Kita sibuk bekerja di dalam pengharapan suatu saat kita pantas menerima berkat dan pengakuan, padahal seluruh berkat sudah milik kita, milik bersama dengan Bapa di Sorga. Dia ingin kita mengerti isi hati-Nya dan bekerjasama dengan Dia, bukan bekerja sendirian.
Tujuan kita salah. Kita bukan mengasihi Bapa dengan diri kita, tetapi berusaha menyenangkan Bapa dengan perbuatan kita. Bapa di Sorga tidak memerlukan uluran tangan kita, hasil kerja kita, atau prestasi kita. Kita memang akan dan perlu melayani Tuhan dan mencari jiwa-jiwa. Tetapi Dia ingin agar kita tidak menganggap Dia sepi. Dia ingin bersama kita! Amin.
“Tidak ada yang lebih menyakitkan bagi seseorang selain dianggap sepi walau selalu disisinya.”
by: Mark Dohar Simatupang
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment