English Version below.
Oleh: Mark Dohar Simatupang.
Ibrani 11:6-8
Tetapi tanpa iman tidak mungkin orang berkenan kepada Allah. Sebab barangsiapa berpaling kepada Allah, ia harus percaya bahwa Allah ada, dan bahwa Allah memberi upah kepada orang yang sungguh-sungguh mencari Dia. Karena iman, maka Nuh--dengan petunjuk Allah tentang sesuatu yang belum kelihatan--dengan taat mempersiapkan bahtera untuk menyelamatkan keluarganya; dan karena iman itu ia menghukum dunia, dan ia ditentukan untuk menerima kebenaran, sesuai dengan imannya. Karena iman Abraham taat, ketika ia dipanggil untuk berangkat ke negeri yang akan diterimanya menjadi milik pusakanya, lalu ia berangkat dengan tidak mengetahui tempat yang ia tujui.
Selamat tahun baru, kiranya kasih setia Allah yang tak berkesudahan itu tetap menjadi pegangan hidup kita di tahun yang baru ini.
Teringat kembali pada tahun-tahun yang telah dilalui, kita bisa menyadari apakah kehidupan kita menjadi lebih baik dari hari ke hari ataukah tidak ada perubahan bahkan kemunduran. Di tahun yang baru ini saya flash back jauh ke belakang pada sebuah pengalaman saya saat awal-awal kuliah dulu. Ketika itu saya dengan 2 orang teman kos pergi bersama mendaki gunung Klabat. Gunung itu merupakan gunung tertinggi di Sulawesi. Akhir-akhir ini saya baru memahami sebuah pelajaran berharga dari pengalaman itu untuk pertumbuhan rohani.
Perjalanan kami dimulai dengan modal keberanian dan semangat bertualang. Dari 3 orang, hanya 1 yang anggota MAPALA dan katanya sudah pernah mendaki gunung tersebut. Sebenarnya bertepatan hari itu juga banyak mahasiswa baru yang melakukan pendakian seraya merayakan selesainya prosesi OSPEK mahasiswa baru. Jadi sebenarnya kami tidak sendirian mendaki, hanya saja kami memutuskan naik sendiri.
Dalam mendaki biasanya pendaki menghindari pendakian siang hari, karena terik matahari dengan cepat akan menguras energi dan persediaan minum. Oleh karena itu para pendaki mulai naik di sore atau malam hari sehingga tiba di puncak pada pagi hari melihat sunrise. Dan kamipun melakukan hal yang sama dengan mulai naik sore hari yang sejuk.
Pendakian inilah yang menjadi pelajaran berharga di kemudian hari. Dalam perjalanan kami mengalami pengalaman iman yang tidak kami sadari. Saat itu kami pergi tanpa memiliki peta maupun petunjuk seorang ahli. Tentu saja kami tersesat. Akan tetapi bukan tersesat itu yang menjadi pelajaran, justru proses sampai tiba di puncak gunung itulah yang berharga (tentu kami meneruskan pendakian sampai ke puncak gunung Klabat).
Awalnya kami hanya mendengar tentang indahnya pemandangan sunrise di puncak, juga indahnya bunga Edelweis yang tumbuh di puncak gunung itu. Juga pengalaman yang menaklukkan gunung tertinggi di Sulawesi dan salah satu gunung tinggi di Indonesia (ketinggian +- 2000 m).
Awal perjalanan kami adalah mencapai pos 1 yang ada di kaki gunung. Seterusnya mengikuti trail menuju pos 2 dan seterusnya sampai di puncak. Namun yang terjadi adalah, setelah melalui pos 1 kami memgikuti trail yang menanjak dan melelahkan (tentu saja ini trail yang benar), namun setelah beberapa waktu kami memilih trail berbeda mengikuti punggung bukit yang labih landai. Sebenarnya ada kelompok lain yang berteriak mengingatkan jalur yang kami tempuh salah, tapi tidak kami hiraukan.
Ternyata kami mengikuti jalur orang kampung mencari kayu atau berburu. Makin lama makin rimbun hutannya dan sejuk juga enak di lalui, bahkan kami menemukan sungai kecil yang indah. Semuanya adalah tanda-tanda jelas bahwa kami sangat menjauhi target yang kami tuju. Benar saja, kami kini melihat gunung Klabat dari kejauhan. Tanpa sadar sebenarnya kami sedang mendaki bukit 2 Saudara yang bersebelahan dengan gunung Klabat.
Singkat cerita, walau sudah malam kami berhasil kembali ke pos 1. Dari sana kami bertemu tim Mapala lain dengan tim yang biasa mengantar pendaki. Akhirnya kami mengikuti mereka dengan percaya penuh.
Pos demi pos kami lalui, uniknya sepanjang jalanpun kami mengumpulkan orang-orang bernasib mirip kami. Ada yang tersesat, tertinggal kelompoknya, namun yang paling lucu dan bodoh adalah bertemu orang yang kehabisan bekal minuman, konyolnya lagi, mereka bertiga hanya tersisa 1 kaleng bir yang sedang diminum bergantian. Betapa senangnya mereka saat kami memberikan air minum.
Malam makin pekat, entah karena pepohonan atau memang bulan tidak cukup gemilang malam itu. Satu-satunya pegangan kami adalah kebaikan penuntun dari rombongan menyedihkan ini. Kepada dialah kami berharap sampai ditujuan sebelum sunrise. Instruksi beliau sangat sederhana, yaitu: ikuti lampu saya, dengarkan dan lakukan perintah saya.
Ada kalanya dia berhenti menyuruh semua menunggu sementara dia bergerak duluan. Ada kalanya dia menyuruh kami merangkak sambil meraba batuan. Ada satu waktu (yang takkan pernah saya lupakan), saat dia menyuruh semua mengikatkan tali satu sama lain dan berjalan dengan badan bersandar pada dinding batu (pada siang besoknya, saat turun gunung baru kami tahu bahwa kami sedang menyisir setapak jalan di tebing gunung dimana sisi lainnya adalah jurang yang dalam).
Semakin ke puncak, semakin sedikit pohon besar digantikan semak dan pohon belukar. Tidak ada lagi kali/sungai, hanya parit- parit kecil sebagai jalan air yang tak seberapa banyaknya (butuh 5 menit untuk mengisi botol air minum 500 ml).
Hal yang ditakuti oleh pendaki adalah kelumpuhan temporer/permanen akibat perubahan tekanan maupun suhu ekstrim. Seorang teman kami mengalaminya. Maka terpaksa kami berdua ganti berganti menggendong dia dan memikul ranselnya. Syukurlah tidak permanen.
Akhirnya kamipun tiba mendekati puncak. Kondisi medan bukan bertambah mudah, kini bukan cuma kaki, namun tanganpun harus turut manarik berat tubuh. Tak ada lagi pepohonan, yang ada hanya rambatan akar-akar tumbuhan yang mencoba menyerap air sebanyak mungkin. Di sela-sela tumpukan akar dan karang batuan itulah kami memetik bunga Edelweis.
Dan akhirnya kami tiba di puncak tak lama sebelum sunrise. Sungguh indah pemandangannya, hamparan hijau bukit-bukit, perkebunan kelapa, danau kawah dan udara dingin menembus jaket, sungguh layak menghapus segala lelah.
Saudara terkasih Kristus, jadi apa yang dapat kita refleksikan dari kisah ini terhadap firman yang kita baca di awal renungan ini? Bagaimana Nuh dan Abraham dipandang layak tercatat sebagai tokoh manusia beriman dalam Alkitab?
1. Kita mudah tersesat.
Seperti kami yang mengikuti trail yang sesat, karena mengikuti pikiran sendiri, tidak punya arahan dan pedoman, demikian juga kita bisa gagal dalam mengikuti iman kita. Awalnya kita berada di jalur yang tepat, tapi kita merasa lelah/berat, kemudian melihat jalan yang lebih mudah, kemudian terbuai keindahan lain (walaupun ada yang menegur dan mengingatkan), sampai akhirnya tenggelam dalam dosa dan kegagalan.
Sewaktu melihat gunung tujuan kami di seberang, kami hampir saja menyerah dan berniat pulang, apalagi sudah malam dan kami sudah mendekat perkampungan. Tapi kami berbalik kembali ke pos 1. Ketika kita menyadari kesesatan dan melihat tujuan seakan jauh, perasaan tak layak, terpisah dari kesucian Allah, malu, lelah dan ingin menyerah.
Tidak! Katakan pada diri anda, saya mau berbalik, saya mau mulai lagi, saya tahu Tuhan tidak akan menolak saya. Kembali ke jalur yang benar.
2. Miliki pedoman atau petunjuk yang benar, lalu percayai dan ikuti saja.
Nuh dan Abraham memiliki kesamaan. Sebenarnya, keduanya tidak paham benar tujuan atau apa yang sebenarnya akan terjadi. Memang mereka menerima janji. Nuh diberitahukan akan air bah. Dia disuruh membuat bahtera yang tidak pernah ada sebelumnya dan aneh bentuknya. Mungkin orang meledeknya seperti membangun rumah terbalik karena atapnya di bawah, itupun di atas bukit.
Abraham juga demikian, disuruh meninggalkan tanah kelahirannya menuju tempat yang belum ada petanya. Dijanjikan menjadi bangsa yang besar di tanah antah berantah itu, padahal Abraham dan Sarah isterinya sudah masuk usia lanjut dan belum memiliki putera.
Namun baik Nuh maupun Abraham percaya firman Allah dan melakukan saja perintah-Nya. Seperti kami dalam kegelapan mempercayakan diri, melihat sinar senter pendaki ulung itu serta mematuhi saja perintahnya, maka kami bisa tiba di puncak dengan selamat. Seperti itulah iman berfungsi.
3. Tampak tidak semakin baik namun pasti
mulia akhirnya.
Seringkali orang salah persepsi. Mereka bilang, kalau berjalan dalam iman maka hidup semakin mudah. Tidak juga! Kenyataannya Nuh mengalami kesulitan demi kesulitan. Dia harus mengerjakan bahtera tanpa bantuan orang-orang kecuali isteri, anak-anak dan menantu-menantunya. Orang-orang lain malah mengoloknya. Tapi saat air bah datang, semua berbalik, duka menjadi suka.
Abrahampun demikian, menjadi musafir yang tidak jelas kaplingnya, numpang sana sini, ngungsi sana sini. Sumur-sumur yang digali berapa kali tidak ada airnya. Berperang dengan perampok-perampok, meratapi nasib keponakannya yang tinggal di Sodom dan Gomora yang dimusnahkan Allah. Bahkan ketika hari tuanyapun, masih saja dicobai dengan mengorbankan putera tunggalnya sebagai korban sembelihan, yaitu Ishak (walau kemudian Allah membatalkannya).
Seperti saat mendekati puncak gunung, ada saja masalah. Teman yang lumpuh kakinya, jalan yang kian curam bahkan harus memanjat akar-akar, tangan yang terluka duri belukar dan batuan cadas. Tapi kemudian mencapai puncak gunung membuat segala kesakitan itu lenyap sirna digantikan senyum kepuasan.
Dari kisah pengalaman yang panjang lebar ini, saya menyadari bahwa iman itu memang benar tidak melihat seperti apa hasilnya. Namun iman itu punya tujuan yaitu JANJI ALLAH!
Dalam menjalani imanpun, kita butuh tuntunan dan arahan, itulah Firman dalam Alkitab, termasuk juga dalam doa dan harapan akan pertolongan Allah. Iman juga tidak membuat segala sesuatu menjadi lebih mudah, justru semakin beriman, semakin gencar Iblis menyerang.
Tapi iman itu adalah melakukan saja, memandang pada tujuan, meyakini sudah memiliki janji itu. Hiduplah dengan dituntun oleh iman.
Roma 10:8-10
Tetapi apakah katanya? Ini: "Firman itu dekat kepadamu, yakni di dalam mulutmu dan di dalam hatimu." Itulah firman iman, yang kami beritakan. Sebab jika kamu mengaku dengan mulutmu, bahwa Yesus adalah Tuhan, dan percaya dalam hatimu, bahwa Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang mati, maka kamu akan diselamatkan. Karena dengan hati orang percaya dan dibenarkan, dan dengan mulut orang mengaku dan diselamatkan.
Efesus 2:8-9
Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri.
Lead by Faith
And without faith it is not possible to be well-pleasing to
him, for it is necessary for anyone who comes to God to have the belief that
God is, and that he is a rewarder of all those who make a serious search for
him. By faith Noah, being moved by the fear of God, made ready an ark for the
salvation of his family, because God had given him news of things which were
not seen at the time; and through it the world was judged by him, and he got
for his heritage the righteousness which is by faith. By faith Abraham did as
God said when he was ordered to go out into a place which was to be given to
him as a heritage, and went out without knowledge of where he was going.
Happy new year, let the steadfast mercy of God's remains in our life all the way of this new year.
Thought back to the years that have passed, we can realize
whether our lives for the better from day to day or no change even setbacks. In
this new year I flash back far back on an experience I when the early college.
When I was with 2 friends boarders go along to climb the mountain Klabat. The
mountain is the highest mountain in Sulawesi. Lately I've understand a valuable
lesson from that experience for spiritual growth.
Our journey begins with the courage and spirit of adventure.
Of 3 people, only 1 that members MAPALA (Club of Collage Nature Lover), and he
said he had climb the mountain. Actually, that day coincided many new students
who climb while celebrating the completion of the procession of hazing
freshmen. So actually we are not alone climb, it's just that we decided to take
its own.
In climbing climbers usually avoid climbing during the day,
because the sun will quickly deplete energy and drinking water supply.
Therefore the climbers began to rise in the afternoon or evening so as to
arrive at the summit in the morning to see the sunrise. And we also do the same
to start riding a cool afternoon.
This climbing is a valuable lesson in the future. On the way
we experience the experience of faith that we are not aware of. At that time we
went without a map or guide an expert. Of course we got lost. But it is not the
lesson, just the process to arrive at the top of the mountain that is valuable (of
course we continue the climb up to the top of the mountain Klabat).
Initially we just heard about the beautiful scenery of the
sunrise at the summit, also beautiful Edelweiss flower that grows on top of the
mountain. Also experience to conquer the highest mountain in Sulawesi and one
of the high mountains in Indonesia (altitude + - 2000 m).
The beginning of our journey was to reach the first post at
the foot of the mountain. So follow the trail to the post 2 and so on up to the
top. But what happened was, after the first post, we follow the trail uphill
and tiring (of course this trail right), but after some time we choose a
different trail follows the ridge which seem to be more gentle. Actually there
is another group who shouted remind track we go wrong, but we do not pay
attention.
Turns out we follow the path of the village looking for wood
or hunting. Increasingly dense forests and cool also good at going through, we
even find a beautiful little river. Everything is a clear sign that we are away
from our target destination. Sure enough, we now see Klabat mountain in the
distance. Unknowingly actually we were climbing a hill called "two
brothers", which is next to the mountain Klabat.
Long story short, though already evening we made it back to
the post 1. From there we met another MAPALA team with a team that used to take
climbers. Finally we follow them with full trust.
Posts by post we've been through, the unique along the way
were we gather people end up like us. There are lost, left behind his group,
but the most funny and stupid is to meet people who run out of stock of drinks,
silly again, the three of them left only 1 can of beer that are taken turns.
How happy they are when we give water to drink.
Night deepened, either because the trees or did not quite
bright moon that night. The only grip we are a guide goodness of this pathetic
group. For he is our hope that arrived at the destination before sunrise. His
instructions are very simple, which is: follow my lights, listen and do my
command.
There are times when he stopped telling all waited while he
moves first. There are times when he told us to crawl and touching the rock.
There was a time (which I will never forget), when he told all tie each other
and walking with the body leaning against a stone wall (at noon the next day,
when going down the mountain we learned that we were on the road trails along
the cliffs of the mountain where the the other is a deep abyss).
Getting to the top, the fewer large trees were replaced by
shrubs and bushes. There is no longer a river, only small trenches as the water
that is not much (it took 5 minutes to fill water bottles 500 ml).
The climbers are feared by temporary paralysis / permanent
due to changes in pressure and temperature extremes. A friend we actually
experience it. So we were forced to replace the switch carrying both he and
bear his backpack. Thankfully no permanent paralysis.
Finally, we also arrive near the top. Increasingly difficult
terrain conditions, is now not just the feet, but the hand must also pull
weight of the body. No more trees, only the roots of plants that try to absorb
as much water as possible. On the sidelines of a pile of roots and rock reef
that we pick flowers Edelweiss.
And finally we arrived at the summit shortly before sunrise.
It's beautiful scenery, green expanse of rolling hills, coconut plantations,
crater lakes and cold air to penetrate the jacket, it's worth removing all the
tired.
Dear brother of Christ, so what can we reflect on the word
of this story that we read at the beginning of these reflections? How did Noah
and Abraham deemed worthy of human character recorded as a believer in the
Bible?
1. We easily get lost.
As we were to follow the trail that misguided, because it
follows its own mind, do not have directives and guidelines, as well, we can
fail to follow our faith. Initially we were on the right track, but we feel
tired / weight, then see an easier way, then lulled other beauty (although
there were reprimanded and warned), until finally sunk in sin and failure.
When we look across the mountain destination, we almost gave
up and intend to go home, let alone getting late and we were already
approaching the township. But we turned back to the post 1. When we realize
misguidance and see if the destination is far, feeling unworthy, apart from the
holiness of God, shy, tired and wanted to give up.
Hell No! Say to yourself, I want to turn around, I want to
start again, I know God will not reject me. Back to the right track.
2. Have the correct guidance or direction, then trust and
follow.
Noah and Abraham have in common. Actually, they do not
really understand the purpose or what will actually happen. Indeed, they
receive a promise. Noah was told will be a flood. He was told to make an ark
that was never there before and odd shape. Maybe people teased like building a
house upside down because the roof down, and even then at the top of the hill.
Abraham, too, was told to leave their land to the place
where no maps. Promises to be a great nation in the middle of nowhere land, but
Abraham and his wife Sarah have entered old age and not have a son.
But both Noah and Abraham believed the word of God and do
His commandments only. As we entrust ourselves in darkness, saw a flashlight
beam was skilful climber and just obey orders, then we can arrive at the summit
safely. Such was the faith to function.
3. Looks are not getting better, but certainly glorious end.
Often people have wrong perception. They say, if you walk in
faith, life gets easier. Not really! Noah fact experiencing one difficulty to
another difficulities. He had to work on the ark without the help of people
except the wife, children and daughter-in-law. Other people even teased. But
when the flood came, all turned grief into joy.
Abraham too, a traveler who does not clear its plot of land,
ride here and there, refuge there to here. Wells were dug how many times there
is no water. Fought with the robbers, bemoaning the fate of his nephew who
lived in Sodom and Gomorrah were destroyed by God. Even when it is old, still
tested to sacrifice his only son as a sacrifice, Isaac (although then God
himself who cancel).
As the time neared the top of the mountain, there are
problems. A friend who was paralyzed leg, increasingly steep path even have to
climb the roots, our hands were injured thorn shrub and rock. But then reach
the top of the mountain, making all the pain was gone replaced with smile of
satisfaction.
From the story of this lengthy experience, I realized that
it was indeed true faith do not see what the results. But the faith that has
purpose, namely GOD'S PROMISE!
In going through faith, we need guidance and direction,
which is the Word in the Bible, as well as in prayer and hope of God's help.
Faith does not make things easier, even more faithful, more incentive to Satan
attacks.
But faith it is doing it, look at the goal, believe it
already has promise. Live your life guided by faith.
But what does it say? The word is near you, in your mouth
and in your heart: that is, the word of faith of which we are the preachers:
Because, if you say with your mouth that Jesus is Lord, and have faith in your
heart that God has made him come back from the dead, you will have salvation:
For with the heart man has faith to get righteousness, and with the mouth he
says that Jesus is Lord to get salvation. Because it is said in the holy
Writings, Whoever has faith in him will not be shamed.
Because by grace you have salvation through faith; and that
not of yourselves: it is given by God: Not by works, so that no man may take
glory to himself.