Matius 5 : 3 “Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah,
karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.”
Kemiskinan merupakan masalah yang dihadapi oleh semua negara di
dunia. Dari masa ke masa dan di pelbagai tempat selalu saja ada kemiskinan.
Miskin menurut kamus bahasa Indonesia adalah tidak berharta; serba kekurangan
(berpenghasilan sangat rendah). Sementara kemiskinan adalah keadaan miskin itu
sendiri. Mungkin bisa dikatakan kemiskinan adalah keadaan orang yang hidup
di bawah standar penghasilan minimum daerah.
Kemiskinan membuat derajat orang berbeda, pada zaman Yesus,
kemiskinan sangat terlihat. Karena kondisi Israel atau Yerusalem saat itu
sedang dijajah oleh bangsa Romawi. Pada saat itulah Tuhan Yesus hadir dan
melayani orang-orang banyak dari pelbagai golongan.
Saat ini di kota-kota besar, kemiskinan justru jadi komoditi.
Komoditi apa? Apalagi kalau bukan komoditi partai untuk pemilu. Karena
banyaknya orang miskin di Indonesia, maka janji-janji menghibur/menolong orang
miskin makin banyak. Ada yang menawarkan
kartu miskin, kartu sehat, kartu sekolah gratis dan lain-lain. Biar mereka
dipilih oleh orang miskin itu. Tapi
tragis, semakin memunculkan kenyataan betapa miskinnya kita, terutama miskinnya
nurani pejabat-pejabat tersebut. Contoh kasus: ada kejadian dilaporkan di TV
ketika seorang bayi mati karena tidak tersedia incubator dan orang tuanya
adalah pemegang kartu sehat. Satu sisi orang berpandangan miring bahwa RS
kurang peduli dengan orang miskin. Tapi lain halnya jika ternyata RS tersebut
kehabisan tempat karena melayani semua orang miskin. Janji menghibur/menolong orang miskin tidak disertai dengan fasilitas yang memadai. Tragis.
Pada zaman Yesus tidak ada penawaran atau penghiburan seperti itu.
Bangsa Romawi tidak memikirkan kampanye merebut hati orang Israel. Tidak perlu
bagi mereka. Demikian juga para tokoh masyarakat, mereka sudah “terlindungi”
oleh struktur budaya yang menjadikan mereka lebih tinggi derajatnya.
Pada pasal 4 kita baca, setelah Yesus dicobai di padang gurun, Diapun mulai mengumpulkan calon-calon murid-Nya. Dalam perjalanan Dia
menyembuhkan dan menolong banyak orang. Sepertinya, Yesus menjadi “kampanye
hidup” untuk permasalahan kemiskinan. Dan ketika Dia mengkhususkan diri untuk
berpidato (kotbah) di sebuah bukit, Dia berkata: “Berbahagialah orang yang
miskin….”
Akan tetapi, apa artinya ini? Kita tidak bisa bayangkan jika untuk
masuk Kerajaan Sorga membutuhkan kartu sehat atau kartu miskin bukan? Atau
bahkan memakai surat keterangan tidak mampu dari kelurahan? Tentu tidak. Apa
maksud miskin yang berbahagia ini?
Kalimat Yesus ini juga sedikitnya menyinggung orang-orang yang
merasa dari golongan kaya. Orang-orang “non miskin” mengatakan bahwa kemiskinan
itu karena orang tersebut malas, kurang pendidikan dan kurang berusaha. Terus
jika demikian kenapa Tuhan Yesus tidak bilang saja agar orang-orang miskin mengubah
cara hidup mereka?
Beberapa orang yang bersikap lebih terkesan rohani, mereka
menerjemahkan perkataan Yesus ini dimaksudkan untuk hal-hal rohani saja, yaitu
miskin rohani. Pertanyaannya, bagaimana
mungkin orang miskin rohani justru dihadiahi Kerajaan Allah? Sama halnya kalau
dikatakan miskin kepribadian ataupun moral. Lalu apakah makna miskin di hadapan
Allah ini?
Selain menimbulkan pengharapan dan senyuman pada orang-orang
miskin ini, tentu perkataan Yesus ini menimbulkan pertanyaan besar bagi mereka.
Bagaimana mungkin miskin menjadi hal yang baik dan diberikan Kerajaan Allah?
Kita beruntung bahwa kita hidup di zaman yang sudah ada Alkitab
sebagai Firman yang tertulis. Jika kita di zaman Yesus, tentu kitapun bingung
seperti halnya para murid-murid Yesus. Karena memang demikian, sebelum Yesus
bangkit, naik ke Sorga dan sebelum hadirnya Roh Kudus, para murid tetaplah para
murid yang bingung. Namun setelah itu, mereka menjadi mengerti dan beralih dari
para murid berubah menjadi para Rasul. Kita
memiliki Alkitab yang menunjukkan jelas maksud Yesus kepada kita.
Kotbah di bukit seperti sebuah silabus bagi Injil. Tiap ucapan
berbahagia mewakili kisah-kisah selanjutnya dalam Injil Alkitab. Bahkan masih
relevan sampai sekarang, seperti halnya orang percaya akan menderita karena nama
Yesus, itupun disebut berbahagia.
Pada Matius 19:16-26, dikisahkan tentang seorang muda yang kaya
raya dan taat pada Taurat. Orang muda ini bertanya pada Yesus: “Guru, perbuatan
baik apakah yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?" Yesus
mengerti betapa dangkalnya pertanyaan itu, karena dia mencari “perbuatan” yang
dapat memberi hidup yang kekal.
Bukankah kebanyakan kita berpikir seperti orang muda ini? Seakan-akan
ada perbuatan atau apa yang bisa dibayar untuk membeli keselamatan itu? Mungkin orang muda ini tidak mendengar kotbah
di bukit, tapi para murid jelas mendengar, berbahagialah orang yang miskin
di hadapan Allah karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga. Jadi orang kaya ini, tidak termasuk bukan?
Lihat bagaimana Yesus menjawab dia. Yesus berkata: “turutilah segala
perintah Allah!”. Wow…tentu tidak mudah
melakukan seluruh perintah Allah bukan? Dalam Imamat saja begitu banyak
perintah Allah, kurang lebih ada 200 perintah, yang satu saja tidak dijalani,
maka semua dianggap gugur. Tetapi orang muda ini benar-benar hebat. Dia mengaku
sudah menuruti segala perintah Allah. (Tentu saja dia berbohong, karena tidak
mungkin menuruti semuanya bukan?)
Tetapi lihat bagaimana Yesus mengarahkan orang muda ini dan juga
seluruh murid-murid-Nya tentang orang miskin yang bahagia itu. Dia berkata lagi
pada orang muda itu: “Pergi juallah seluruh hartamu, bagikanlah pada
orang-orang miskin maka kamu akan beroleh harta di Sorga, kemudian datanglah
kemari dan ikutlah Aku!”. Tetapi Alkitab mencatat, orang muda itu pergi dengan sedih sebab banyak hartanya.
Perhatikan, Yesus seakan-akan menyuruh orang muda kaya ini menjadi
miskin dengan menjual seluruh hartanya dan membagi-bagikannya, tetapi bukan
untuk memperoleh Kerajaan Sorga, melainkan harta di Sorga. Perhatikan, bagi
orang percaya, sudut pandang perbuatan baik bukanlah untuk membeli Sorga atau
masuk Sorga, melainkan mengumpulkan harta di Sorga, artinya sudah memiliki Sorga. Tujuan akhir diskusi Yesus
pada orang muda ini adalah untuk datang dan mengikut Dia. Kita bayangkan jika orang
muda itu benar-benar menjual hartanya dan mengikut Yesus, pastilah kemudian dia
menjadi salah satu Rasul besar dalam sejarah Kristen. Tapi, dia tidak terdengar
lagi.
Yesus mengetahui ini dengan memberi
pengajaran penutup bagi murid-muridnya dan berkata: “Sesungguhnya sangat sukar
bagi orang kaya untuk masuk Kerajaan Sorga, Aku berkata kepadamu, sesungguhnya
sukar sekali bagi seorang kaya untuk masuk ke dalam Kerajaan Sorga. Sekali lagi
Aku berkata kepadamu, lebih mudah seekor unta masuk melalui lobang jarum dari
pada seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah."
Wow tentu ini mengejutkan para murid
dan pasti menimbulkan pertanyaan-pertanyaan. Namun mari kita lihat, ada cerita
dibalik seekor unta melalui lobang jarum.
Pada zaman Yesus, Yerusalem dikelilingi tembok, dan pada waktu malam
pintu gerbang akan ditutup sehingga tidak ada yang keluar masuk. Satu-satunya
cara adalah sebuah pintu kecil di sisinya untuk masuk. Sehingga jika para
musafir atau pedagang tiba setelah pintu di tutup, maka untuk memasukkan unta,
seluruh barang harus diturunkan dan unta merayap masuk melewati pintu. Jika
tidak, mereka harus berkemah di luar. Dan di luar itu sangat buruk pada musim
dingin dan juga rawan perampok. Jadi,
unta ini bisa masuk kota dengan menanggalkan semua beban hartanya, sedangkan
orang kaya ini, tidak bisa masuk kerajaan Sorga karena selalu memikul hartanya.
Jadi apa hubungannya silabus orang
miskin berbahagia dengan orang kaya yang sangat sukar masuk Sorga ini? Mari kita perhatikan:
1. Untuk
masuk Sorga, seseorang harus percaya dan mengikut Yesus dengan sepenuhnya.
2. Untuk mengikut
Yesus, seseorang harus “miskin di hadapan Allah” yaitu melepaskan seluruh
miliknya dan menganggap dia tidak memiliki apa-apa dan sama seperti para murid,
bergantung penuh pada Yesus.
3. Orang yang
mengikut Yesus pasti menyadari bahwa patokan hidupnya hanya pada Anak Allah.
Standarnya adalah Yesus Kristus sendiri.
Jika kita mau menempatkan Tuhan Yesus
sebagai standar hidup kita dan memang hanya Tuhan Yesus standar yang ditetapkan Allah, maka kita orang percaya akan menyadari bahwa kita miskin di
hadapan Allah. Definisi miskin pun
menjadi baru yaitu kondisi berada di bawah standar Yesus Kristus.
Dibandingkan kekayaan dan kemuliaan
Tuhan Yesus, tentu kita jauuuuuuh sangat miskin. Dibandingkan kualitas-kualitas
rohani, pribadi dan moral Tuhan Yesus, kita teramat sangaaaaat miskin. Dari sisi
kualitas maupun kuantitas manapun kita benar-benaaaaar miskin di hadapan Allah.
Tapi tidak banyak orang yang melihat
hal ini bukan? Melihat diri miskin di hadapan Allah. Hanya orang-orang yang mengalami perjumpaan
dengan Tuhan Yesus secara pribadi yang mengerti hal ini. Terlihat dari sukacita,
sikap memberi, melayani tanpa pamrih bahkan tanpa ingin dipandang manusia
lainnya (bahkan tersembunyi, misalnya pendoa). Dan orang-orang miskin di hadapan Allah seperti inilah yang memiliki
Kerajaan Sorga dan yang sungguh-sungguh berbahagia. Amin.
“Sebab karena kasih karunia kamu
diselamatkan oleh iman..”
No comments:
Post a Comment